Bacaan Liturgis - Hari Minggu Biasa IV, Minggu, 29 Januari 2023
Bacaan Pertama: Zefanya 2:3;3:12-13
Mazmur Tanggapan: Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.
Ayat Mazmur Tanggapan: Mazmur 146:1.7.8-9a.9b-10
Bacaan Kedua: 1 Korintus 1:26-31
Bait Pengantar Injil: Bersukacitalah dan bergembiralah, karena besarlah ganjaranmu di Surga. Alleluya.
Bacaan Injil: Matius 5:1-12a
Renungan Singkat - Hidup Dalam Semangat Rendah Hati
Rendah hati bermula dari rasa hormat kepada Tuhan. Nabi Zefanya dalam bacaan pertama mengajak kita untukmencari Tuhan, sebab Dialah sumber perlindungan dan keselamatan. Tanpa Tuhan, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Semakin kita dekat dengan Dia, semakin kita mampu hidup adil bagi sesama. Bagi Santo Paulus, rendah hati menjadi panggilan dan karakter bagi setiap pengikut Yesus. ia memanggil kita sejak awal bukan pertama-tama karena kita layak; kita dilayakkan oleh kasih-Nya. Di mata dunia, kitabahkan dipandang bodoh, tetapi justru yang demikian telah dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan kebaikan-Nya di tengah dunia. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah (1 Kor.1:26-29). Mengingat segala kebaikan Tuhan dalam hidup, kita patut bersyukur. Orang rendah hati mengandalkan Tuhan. Ukuran kebahagiaan bukan materi, tetapi Tuhan. Mari kita bermegah dalam Dia. Salah satu kecenderungan manusiaialah memegahkan diri di hadapan sesama. Ini merupakan kesombongan. Mengapa? Karena dia ingin mempertontonkan kehebatannya. Sebaliknya, orang rendah hati, ia tidak akan melakukannya, sebab semua yang dia miliki adalah dari Tuhan sendiri. Dia hanya dipercaya oleh Tuhan untuk mengemban tugas dan tanggung jawab.
Rendah hati sangat erat kaitan dengan ketaatan, sebab hanya orang yang rendah hati yang akan memberikan diri untuk melaksanakan suatu penugasan tertentu. Ketaatan menjadi kurban diri kepada Allah. Dalam hal ini, ketaatan pertama-tama haruslah kita maknai dalam kaitannya dengan Allah Bapa. Kita taat pertama-tama demi mempersembahkan kurban diri kepada Allah. Bukankah itu yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus. Ketaatan-Nya adalah demi mempersembahkan korban diri kepada Allah demi keselamatan kita manusia. Melalui sakramen baptis, kita semua mengambil bagian dalam tri tugas Kristus yaitu Imam, Nabi dan raja. Kita memiliki imamat umum. Dengan Imamatitu, kita dipanggil untuk menjalankan fungsi imami, yaitu membawa persembahan umat kepada Allah dan menguduskan hidup dunia ini. Maka, imamat umum bisa disebut sebagai imamat kehidupan; mempersembahkan kurban rohani yang berasal dari hidup sehari-hari. Syarat yang terpenting ialah semua kegiatan hidup sehari-hari itu “dijalankan dalam Roh” dihidupi menurut Roh (Rom 8:1-17). Tanpa butir ini, maka semua aspek kehidupan itu tidak akan menjadi kurban rohani (bdk. LG. 10, 34).
Selain menjadi kurban diri kepada Allah, Ketaatan jugatotalitas. Patut disadari bahwa penghayatan akan ketaatan itutidaki sekali jadi, tetapi butuh waktu. Ketaatan kita semakin sempurna ketika diuji oleh waktu dan pengalaman. Semakin sering kita melayani semakin tampak pula totalitas kita dalammelakukannya. Kemampuan akal budi, bakat dan berbagai keterampilan haruslah kita maksimalkan dalam pelayanan. Setiap generasi memiliki konteks sendiri. Dengan demikian, mereka juga memiliki peluang dan tantangan pelayanan masing-masing. Generasi kita di zaman memiliki peluang dan tantangan di dunia media sosial. Kemampuan kita di bidang teknologi menjadi kebutuhan dalam berpastoral; mewartakan kebenaran Injil di tengah dunia yang saling terhubung ini. Istilah Internet of Things dan Artificial Intelligence sudah menjadi akrab dalam kehidupan kita. Barangkali situasi initerasa di luar lingkup refleksi kita tentang ketaatan. Tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Situasi itu telah menjadi bagian integral refleksi kita tentang penghayatan ketaatanzaman ini. Hal ini menyangkut totalitas kita dalam melayani sesama dalam Gereja dan masyarakat. Keterampilan kita menggunakan berbagai platform media sosial zaman ini dengan bijak menjadi jala bagi kita untuk menjangkau manusia sebanyak mungkin. Menurut refleksi saya, totalitas ketaatan Yesus Kristus Tuhan kita pada zaman-Nya tidak cukup dilihat hanya pada kematian di salib. Tetapi juga keterampilan-Nya dalam mewartakan kerajaan Allah itu dengan bahasa, perumpamaan, gambaran, analogi, tata bahasa yang indah, sehingga mudah diterima oleh para pendengar-Nya. Lebih lanjut, bisa kita tambahkan di sini bahwa ketaatan yang totalitas itu menjadikan kita produktif. Menarik pernyataan Santo Bernard of Clairvaux, “A Christian faithful to obedience, knows not delays, but prepares his ears for hearing, and his hands and his feet for labor. Terjemahannya kurang lebih “Seorang Kristiani yang setia itu taat, tidak mengenal penundaan [pekerjaan], tetapi mempersiapkan telinganya untuk mendengar dan tangan serta kakinya untuk bekerja.” Tuhan memberkati. [RP Manaek Sinaga, O.Carm]