Renungan Harian

Renungan Harian 12 April 2024

Bacaan Liturgis – Pekan II Paskah, Jumat, 12 April 2024

  • Bacaan Pertama: Kisah Para Rasul 5:34-42

  • Mazmur Tanggapan: Satu hal telah kuminta kepada Tuhan, diam di rumah Tuhan seumur hidupku.

  • Ayat Mazmur Tanggapan: Mzm 27:1.4.13-14.

  • Ayat Bait Pengantar Injil: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Alleluya.

  • Bacaan Injil: Yohanes 6:1-15

Renungan Singkat : Jiwa Berbagi

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, semangat atau jiwa berbagi bisa dilatih mulai dari rumah. Rumah adalah sekolah keutamaan. Rumah adalah sekolah kebajikan. Dalam keluarga, anak-anak bisa dilatih dan dibiasakan untuk memiliki jiwa berbagi dengan orang lain, dengan kakak-kakaknya, dengan adik-adiknya, dengan orangtuanya, dengan Opa atau Omanya atau dengan asisten rumah tangga.

Dengan pendidikan dan latihan berbagi, anak diharapkan memiliki ketrampilan sosial yang akan membantu anak untuk bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya, di mana pun anak berada, apalagi kalau dia sudah tumbuh menadi dewasa. Dengan berbagi orang akan memiliki kemudahan untuk menjalin pertemanan, persahabatan dan kerja sama. Dengan berbagi atas apa yang dimiliki, anak tidak pernah akan merasa dirugikan. Sebaliknya, anak akan mendapatkan banyak keuntungan atau manfaat positif.

Misalnya, anak akan memiliki jiwa sosial, jiwa murah hati, kepedulian anak terbangun, terhindar dari sikap tamak dan egois. Anak akan belajar memiliki sikap peduli terhadap sesama, anak terbiasa dengan berkorban bagi sesama dan masih banyak dampak positif lainnya.

Dalam kisah menarik dari Injil hari ini, Yesus melatih para murid-Nya untuk memiliki jiwa berbagi. Sebab itu, melihat bahwa ada banyak orang berbondong-bondong datang kepada-Nya, Yesus berkata kepada Filipus, “Di manakah kita akan membeli roti, sehingga mereka ini dapat makan?” (Yoh 6:5). Filipus menjawab dengan nada pesimis, “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja!” (ay. 7).

Di saat belum ada solusi, Andreas, saudara Simon Petrus, memberikan alternatif solusi, “Di sini ada seorang anak, yang membawa lima roti jelai dan mempunyai dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini” (ay. 9). Namun, atas ide ini pun dia merasa pesimis bahwa roti dan ikan yang “tidak ada artinya” itu bisa mengatasi persoalan.

Pandangan Yesus berbeda. Bagi Yesus, apa yang (kelihatannya) sedikit jika disyukuri bisa menjadi berkat melimpah. Oleh karena itu, kemudian “Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki” (ay. 11).

Dari lima roti dan dua ikan itu, jangan lupa bahwa ada jasa besar yang datang dari seorang anak, yang empunya lima roti dan dua ikan. Menurut refleksi saya, anak itu sudah memiliki jiwa berbagi; ia sudah dibiasakan atau dilatih oleh orangtuanya sehingga ketika kelima roti dan kedua ikan itu diambil dari padanya dan dibawa kepada Yesus, anak itu tidak menangis histeris. Ia tidak merasa kehilangan atas apa yang dia miliki atau bawa. Bisa jadi ia malah merasa bangga bahwa makanan yang dia bawa bisa memberkati banyak orang. Tampak dari Injil bahwa anak kecil itu tidak berkata apa-apa tapi tahukah kita bahwa hatinya penuh sukacita karena hidupnya bisa memberkati banyak orang?

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, ada dua hal perlu kita refleksikan perihal jiwa berbagi: Pertama, jangan pernah meremehkan makanan dalam jumlah sedikit, dengan mengatakan “apa artinya itu” (bdk. ay. 9). Andreas meremehkan Yesus. Ia mestinya berkata, “Di sini ada lima roti, dua ikan DAN YESUS.” Jangan pernah meremehkan kuasa yang ada pada Yesus. Apa yang sedikit, ketika Ia berkolaborasi dengan Bapa-Nya, mukjizat pun terjadi dalam waktu singkat. Terbukti, makanan yang jauh sekali dari mencukupi orang sebanyak lima ribu orang itu, ketika melibatkan kemahakuasaan Yesus ternyata lebih dari cukup. Mereka makan sebanyak yang mereka kehendaki (“all you can eat”), tetapi ternyata masih ada 12 bakul penuh dengan potongan-potongan dari kelima roti jelai. Berkat yang lebih atau berlimpah itu tidak boleh dibuang, tetapi harus dimakan sebagaiamana mestinya.

Kedua, roti (sebagai makanan pokok zaman itu) adalah lambang kehidupan. Dengan demikian, membagi-bagikan roti searti dengan berbagi kehidupan, melibatkan diri dalam hidup agar orang lain bisa bertahan hidup atau tercukupi kebutuhan dasar mereka, seperti halnya kebutuhan makan dan minum.

Saudara-saudara sekalian, dalam Seruan Apostolik Sukacita Injil, Paus Fransiskus berkata, “Hidup bertumbuh dengan dibagikan” (No. 10). Maka, mari kita miliki jiwa berbagi agar hidup kita bertumbuh menjadi seperti yang Allah kehendaki, makin berbuah dan bermakna bagi kehidupan bersama dan demi kesejahteraan bersama.

[RP. A. Ari Pawarto, O.Carm.]