Renungan Harian

Renungan Harian 20 Juli 2024

Bacaan Liturgis – Hari Raya Nabi Elia, Bapa dan Pemimpin Ordo Karmel, Sabtu, 20 Juli 2024

  • Bacaan Pertama: Kitab Pertama Raja-Raja 19:1-9a.11-14a

  • Mazmur Tanggapan: Bahagia ku-terikat pada Yahweh, harapanku pada Allah Tuhanku.

  • Ayat Mazmur Tanggapan: Mzm 16:1-2.5-6.8-9.10-11

  • Bacaan Kedua: Surat Pertama Rasul Petrus 1:8-12

  • Ayat Bait Pengantar Injil: Inilah Anak-Ku yang Ku-pilih, dengarkanlah Dia! Alleluya.

  • Bacaan Injil: Lukas 9:28b-36

Renungan Singkat : HIDUP DI HADIRAT ALLAH

Semua orang kristiani dipanggil untuk hidup di hadirat Allah. Sakramen-sakramen yang kita terima dalam Gereja membantu kita untuk dipulihkan, didamaikan dan disatukan dengan Allah. Para Karmelit merasakan panggilan ini secara khusus. Sejak awal mula, para pendahulu Karmelit pergi ke Gunung Karmel karena tahu di sana pernah hidup seorang nabi besar dan karyanya agung yaitu Nabi Elia. Ia hidup dalam keheningan dan kesunyian. Ia membela Allah yang benar dari para Nabi Baal di hadapan Bangsa Israel. Nabi Elia berhasil membuktikan kepada Bangsa Israel bahwa Allah adalah yang benar, yang patut diikuti bukan para Nabi Baal. Persembahan Nabi Elia berkenan kepada-Nya. Tetapi yang paling menarik untuk kita renungkan dan teladani ialah pengalaman Nabi Elia di Gunung Horeb. Di sana, ia mengalami Allah yang hidup. Bukan dalam peristiwa yang besar ia mengalami kehadiran Allah, tetapi dalam keheningan. Ketika ia keluar dan berdiri di atas Gunung Horeb di hadapan Tuhan. Angin besar dan kuat yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit batu, tetapi Tuhan tidak ada. Sesudah itu datang gempa, tetapi Tuhan tidak ada. Sesudah itu datang api, tetapi Tuhan juga tidak ada dalam api. Setelah itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basah. Pada saat mendengar itu, Nabi Elia menyelubungi mukanya dengan jubah, pergi ke luar dan berdiri di pintu gua (1 Raj.19:11-13). Tuhan bertanya, “Apakah kerjamu di sini, hai Elia? Ia menjawab, “Aku bekerja segiat-giatnya, bagi Tuhan Allah semesta alam atau Zelo zelatus sum pro Domino Deo exercituum (ayat 14).” Sebenarnya terjemahan Indonesia yang lebih tepat itu berbunyi, “Aku sangat berkobar-kobar bagi Allah, balatentaraku.”

Keheningan dan kesunyian adalah dua kondisi yang sangat bernilai bagi pertumbuhan rohani para Karmelit. Dalam kedua kondisi ini, jiwa boleh secara perlahan-lahan mengalami Tuhan hadir. Bagi para Karmelit, Tuhan hadir itu bukan teoretis, tetapi pengalaman akan Tuhan yang membebaskan mereka dari kecenderungan, keterikatan atau kelekatan yang buruk. Maka pengalaman akan Tuhan itu transformatif, artinya mengubah kita. Perjalanan Nabi Elia mulai dari tepi Sungai Kerit, Gunung Karmel sampai Gunung Horeb adalah pengalaman akan Allah yang mengubah. Inilah kiranya juga menjadi jalan setiap Karmelit. Dengan mengikuti dan meneladan semangat Nabi Elia, para Karmelit belajar menjadi pertapa padang gurun yang dengan hati yang tidak terbagi berdiri di hadapan Allah, mengabdikan diri seutuhnya kepada Allah, mengutamakan pengabdian pada perkara Allah, dan terbakar oleh cinta yang hangat akan Allah. Para Karmelit percaya akan Allah dan membiarkan diri dibimbing oleh Roh dan Sabda yang mengakar dalam hatinya, untuk memberikan kesaksian akan hadirnya Allah di tengah dunia dengan membiarkan Allah sungguh-sungguh Allah dalam dirinya (Konst.26).

Dalam Injil hari ini, kita mendengar pengalaman rohani tiga orang murid Yesus yaitu Petrus, Yohanes dan Yakobus. Ketika Yesus sedang berdoa di atas gunung mereka menyaksikan rupa wajah Yesus berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan. Tampak dua tokoh besar Kitab Suci Perjanjian Lama bersama Yesus yaitu Nabi Musa dan Nabi Elia (Luk.9:28-29). Pengalaman rohani ini begitu mengagumkan. Mari kita renungkan ungkapan spontan Petrus yang menyaksikannya, “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia (ayat 33). Sayangnya, Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya. Tetapi pesannya jelas, bahwa pengalaman akan Tuhan itu menyenangkan jiwa kita. Para Kudus Karmel mengalami kehadiran Allah yang sedemikian rupa ini. Bagi mereka, doa adalah pengalaman yang membahagiakan. Lebih dari sekedar mengutarakan kata-kata, doa menjadi perjumpaan dua pribadi yang saling mencintai. Santa Teresia Avila mengajar kita bahwa dalam doa, kita tidak perlu banyak berbicara karena kita tahu sedang berhadapan dengan Pribadi Allah yang mencintai kita. Mari kita terus memelihara yang terikat pada Allah, sehingga dimana pun kita tetap boleh menyadari Allah yang hadir. Doa bukanlah oase di padang gurun, tetapi keseluruhan aktivitas kita haruslah menjadi doa, demikian nasihat Santo Titus Brandsma. Mari kita renungkan. Amin.

[RP Manaek Martinus Sinaga, O.Carm]