Bacaan Liturgis – Hari Biasa sesudah Penampakan Tuhan, Jumat, 10 Januari 2025
Bacaan Pertama: 1 Yohanes 5:5-13
Mazmur Tanggapan: Megahkanlah Tuhan, hai Yerusalem!
Ayat Mazmur Tanggapan: Mzm 147:12-13.14-15,19-20
Ayat Bait Pengantar Injil: Alleluya. Yesus memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. Alleluya.
Bacaan Injil: Lukas 5:12-16
Renungan Singkat : Uluran Tangan Yesus
Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, dalam ilmu psikologi dikenal istilah ekstrovert. Apa itu? Ekstrovert adalah tipe kepribadian manusia yang membuat dia bisa mendapatkan energi dengan bertemu, berkumpul dan berbagi dengan orang lain. Oleh sebab itu, karakter diri seorang yang ekstrovert adalah suka atau mudah berbicara, punya banyak teman, terbuka, mudah bosan saat sendiri dan penuh energi.
Sebagai pribadi yang penuh energi, karena ia tipe orang yang terbuka, maka energi itu tidak ia simpan bagi dirinya sendiri. Penuh energi ia bagikan kepada orang lain dengan berbagai cara dan dilakukan dalam berbagai kesempatan. Contoh, ia mau mengulurkan tangan untuk berbagi atau membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Para saudara, uluran tangan Yesus adalah model ideal bagi setiap murid Yesus untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang berkarakter, yang “tidak mencari keuntungan diri sendiri” (1Kor 13:5), yang mau bahkan “wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan tidak mencari kesenangan sendiri” (Rom 15:1). Sebaliknya, ia mau mencari kesenangan sesama demi kebaikannya untuk membangunnya (ay. 2). Semangat seperti ini mesti menjadi karakter diri seorang murid Yesus.
Uluran tangan Yesus yang dihadirkan dalam Injil hari ini (Luk 5:12-16) dapat menginspirasi kita untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang ekstrovert sebagaimana ada dalam Diri Yesus, Sang Guru kita. Hal ini Yesus tunjukkan ketika seorang sakit kusta melihat-Nya dan kemudian tersungkur di hadapan-Nya dan memohon, “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku” (Luk 5:12).
“Jika Tuan mau” adalah ungkapan seorang sakit kusta yang rendah hati, (menurut saya) bukan karena putus asa. Ia tidak memaksa Yesus untuk melakukan sesuatu, yakni mentahirkan kustanya. Ia ingin jika Yesus mau melakukan sesuatu bagi dirinya, hal itu dilakukan karena Yesus adalah seorang yang penuh belas kasih, yang dari kedalaman hati-Nya memang tergerak untuk menyembuhkan sakit kustanya. Ia memercayakan sepenuhnya bahwa apa yang akan terjadi dalam dirinya adalah karena kehendak-Nya yang berbelas kasih.

Lantas apa reaksi Yesus? Penginjil mencatat, “Maka Yesus mengulurkan tangan-Nya menjamah orang itu dan berkata, ‘Aku mau, jadilah engkau tahir!’” (ay, 13a). Dengan penuh energi Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menjamah si kusta. Hal ini adalah sesuatu yang luar biasa dan tindakan yang berani. Sebab, kusta adalah salah satu penyakit menular dan orang yang sakit kusta selalu dijauhkan atau dipinggirkan dari kehidupan publik. Namun, Yesus mau dan berani mengulurkan tangan-Nya dan bahkan menjamah orang itu. Tangan Yesus bersentuhan langsung dengan si kusta yang hendak ditolong-Nya supaya menjadi tahir.
Tentang uluran tangan dan jamahan Yesus mengingatkan saya akan nasihat Paus Fransiskus agar kalau kita membantu orang lain, berbagi kasih dengan orang lain, tangan kita mesti sampai menyentuh tangan (simbol kehidupan) orang yang ditolong.
Berkat uluran tangan dan jamahan Yesus, penulis Injil mengabarkan, “Seketika itu juga lenyaplah penyakit kustanya” (ay. 13b). Apa yang dikatakan Yesus benar. Apa yang dilakukan Yesus juga benar, bahwa si kusta itu menjadi tahir.
Si kusta adalah salah satu dari sekian banyak orang yang sakit, yang berarti ia memiliki kelemahan dalam hal kesehatan. Ia juga termasuk salah seorang yang miskin kesehatan. Dalam hal ini kita perlu membuka mata terhadap orang-orang di sekitar kita yang lemah dan miskin kesehatan entah karena sakit atau karena usia yang telah lanjut. Baiklah kalau pada Tahun Kepedulian ini kita memiliki kepedulian lebih kepada saudara-saudari kita yang lemah dan miskin.
Pandangan mata dan hati kita tidak perlu jauh-jauh. Fokuslah pada keluarga dan sekitarnya. Adakah anggota keluarga yang sakit atau orangtua yang sudah lanjut usianya, yang geraknya amat terbatas karena sudah tidak lagi “penuh energi” bahkan nyaris habis, tak berdaya, sehingga semua kebutuhannya harus dibantu?
Para saudara yang dikasihi Tuhan, uluran tangan Yesus hendaknya menjadi uluran tangan kita untuk menyatakan kepedulian kita lebih kepada saudara-saudari kita yang lemah dan miskin. Mari kita menjadi perpanjangan tangan Yesus yang senantiasa terulur bagi orang lain. Saat tangan terulur, berkat Tuhan menjangkau kepada siapa tangan kita terulur.
Tuhan memberkati!
[RP. A. Ari Pawarto, O.Carm.]