Renungan Harian

Renungan Harian 12 September 2025

Bacaan Liturgis – Pekan Biasa XXIII, Jumat, 12 September 2025

  • Bacaan Pertama: 1Timotius 1:1-2.12-14

  • Mazmur Tanggapan: Ya Tuhan, Engkaulah milik pusakaku.

  • Ayat Mazmur Tanggapan: Mzm 16:1.2a.5.7-8.11

  • Bait Pengantar Injil: Alleluya. Sabda-Mu, ya Tuhan, adalah kebenaran. Kuduskanlah kami dalam kebenaran. Alleluya.

  • Bacaan Injil: Lukas 6:39-42

Renungan Singkat : Seorang Murid Tidak Melebihi Gurunya

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, kita semua pernah menjadi murid di sekolah, bukan? Sebagian dari kita malah pernah menjadi guru atau dosen, atau saat ini masih menjadi guru atau dosen.

Hari ini Yesus mengajak kita untuk kembali memaknai apa artinya menjadi murid. Apa yang mesti dilakukan sebagai seorang murid? Pertama-tama ia mesti belajar, baik di rumah maupun di sekolah. Selain itu, ia mesti mempelajari materi pengajaran yang diberikan oleh sang guru sehingga ilmu yang diperoleh bisa menjadi bekal hidup. Sebab, seperti peribahasa Latin mengatakan, “Non scholae sed vitae discimus.” Artinya, “Kami belajar bukan untuk sekolah (baca: untuk mendapatkan ijazah) melainkan untuk hidup.”

Jika kita menempatkan diri sebagai murid di hadapan Yesus, maka tugas kita bukan hanya belajar dan mempelajari kembali pengajaran yang diberikan sang guru. Sebab, selain itu, kita mesti mentransformasi keutamaan-keutamaan sang guru agar menjadi keutamaan-keutamaan hidup kita. Artinya, keutamaan-keutamaan sang guru juga menjadi keutamaan-keutaman sang murid.

“Sang murid” itu adalah kita semua, siapa pun kita, apakah uskup, imam, dosen, guru, petani, pedagang, tukang bangunan dan sebagainya. Di hadapan Yesus, kita semua adalah murid. Seperti pernah dikatakan oleh Santo Agustinus, Uskup Hippo, Afrika Utara, ketika berbicara di hadapan umat di keuskupannya, “Di hadapan kalian, saya adalah uskup. Tetapi di hadapan Yesus, kita semua adalah murid.”

Kita perlu menempatkan diri sebagai murid di hadapan Yesus, Sang Guru. Hari ini Yesus berkata, “Seorang murid tidak melebihi gurunya, tetapi orang yang sudah tamat pelajarannya, akan menjadi sama dengan gurunya” (ay. 40). Ayat ini mau mengatakan mengenai sikap yang seharusnya ada dalam diri setiap murid Yesus. Mereka harus menjadi serupa dengan sang Guru.

Namun, bagi penginjil Lukas, hanya ada seorang guru saja, yaitu Yesus, sedangkan jemaah, orang-orang yang percaya kepada-Nya adalah murid-murid-Nya. Oleh sebab itu, apabila ucapan Yesus ini oleh penginjil dikaitkan dengan keutamaan kemurahan hati dan pengampunan (ay. 36-37), maka maknanya menjadi jelas. Bahwa selaku Guru, Yesus selalu membuka hati-Nya terhadap para pendosa. Ia menawarkan pengampunan kepada mereka (lih Luk 5:20-24; 7:47-49; 19:9 dst dan 23:43). Sikap Yesus, Sang Guru, seperti inilah yang mestinya menjadi keutamaan hidup setiap murid.

Dengan kata lain, sebagaimana Sang Guru murah hati dan pengampun, demikian juga setiap murid hendaknya memiliki keutamaan yang sama dengan keutamaan Sang Guru. Dengan demikian, “Seorang murid tidak (perlu) melebihi gurunya” (ay. 40). “Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya” (Mat 10:25); menjadi sama dalam keutamaan: Murah hati dan pengampun.

Para saudara yang dikasihi Tuhan, dalam bacaan pertama (1Tim 1:1-2.12-14) Rasul Paulus memperdalam refleksi kita sebagai murid-murid Yesus. Bahwa sebagai murid-murid Yesus yang melayani, selain menjadi pelayan yang murah hati dan pengampun juga setia. Inilah yang dilihat dan disadari oleh Paulus. Karena setia kepada Sang Guru, maka Yesus memberi kepercayaan kepadanya untuk melayani.

Oleh sebab itu Rasul Paulus menulis, “Aku bersyukur kepada Kristus Yesus, Tuhan kita, yang menguatkan aku, karena Ia menganggap aku setia, dan memercayakan pelayanan ini kepadaku” (1Tim 1:12).

Kita pun mesti bersyukur kepada Kristus Yesus, Tuhan kita, kalau Dia juga telah memberi kekuatan kepada kita dan terlibat dalam pelayanan pertama-tama karena kita mau setia kepada-Nya dan setia sebagai murid-murid-Nya.

Para saudara, mari kita terus berlaku setia kepada Yesus, Sang Guru, serta murah hati dan pengampun. Dengan demikian, sebagai murid kita tidak melebihi gurunya. Cukup jika kita menjadi sama seperti Sang Guru.

[RP A. Ari Pawarto, O.Carm]